Selasa, 10 Maret 2015

Sebatas Pagar Tribun Dan Tak Lebih

Sebatas Pagar Tribun Dan Tidak Lebih

Tuhan telah menciptakan seisinya sesuai dengan tugasnya masing-masing. Semua telah terbagi dalam tugas dan perannya masing-masing. Tidak ada yang tumpang tindih. Semua terbagi rata. Begitu juga dengan kita. Ya, kita sebagai umat manusia dan juga sebagai seorang supporter.Tak ada yang boleh tumpang tindih dalam kehidupan. Jikalau ada yang tumpang tindih, bukankah akan berakibat pada kehancuran?
Begitu juga dengan kita, sebagai seorang supporter, kita telah ditakdirkan untuk member dukungan sepenuhnya kepada tim. Entah dengan cara apa, entah dalam situasi seperti apa. Tugas utama kita adalah mendukung. Dan dimana seorang supporter berada? Di terasnya, di tribunnya. Bukan di lapangan. Karena di lapangan, Tuhan telah menciptakan sekumpulan pahlawan yang harus kita dukung mati-matian.
Layaknya alam, semua ada batasannya. Bukan begitu? Ya, sebagai seorang supporter kita pun memiliki batasan. Dimana batasannya? Pagar tribun. Sebatas pagar tribun. Tidaklah lebih. Dan jika hari inim kita masih saja melanggar batasan-batasan imajiner tersbut, siapkah kita untuk hancur? Karena, layaknya alam, alam pun tak suka batasan-batasannya dilanggar.Memang, tak ada aturan tertulis untuk hal-hal itu semua. Namun sebagai bangsa yang menjunjung adat ketimuran kita harus menjaga norma-norma?
Mari kita semua merefleksi diri. Dimanakah batasan-batasan kita sebagai supporter. Agarkita semua paham dan lebih memposisikan diri sebagaimana supporter semestinya.
Solidaritas organik adalah salah satu konsep sosiologis klasik yang lama bertahan. Intinya kurang lebih, setiap bagian diandaikan seperti tubuh yang mempunyai tanggung jawab atas peran masing-masing. Peran dalam hal ini, memiliki arti luas dan bisa dimaknai secara luas bermula dari politik keruangan.
Pierre Bordieusalah seorang sosiolog Prancis menggunakan frasa habitus untuk menggambarkan segmentasi dan pemanfaatan, atau bisa juga dimaknai penguasaan atas permainan keruangan di masyarakat. Habitus, lanjut Bordieu, berkaitan dengan situasi, aksi, prosedur, praktik-praktik keseharian yang mengikuti 'gaya' tertentu. Gaya tersebut telah disepakati secara tertulis maupun tidak.
Tata ruang bukan hanya soal struktur fungsi, melainkan sebuah hasil dari konstruksi sosial. Dengan demikian satu rangkaian yang memiliki struktur segmen memiliki batasan yang jelas. Batasan tersebut akan membingkai setiap kelompok antara kelompok masyarakat pemilik "habit" dengan kelompok "pemilik ruang" yang lain.
Manajemen melakukan kegiatan manajerial klub. Suporter memberikan dukungan lewat pembelian tiket, merchandise resmi dan pemasukan pendukung lain. Selain itu, kewajiban suporter adalah memberikan semangat pada pemain di lapangan. Dukungan terhadap tim, dapat berupa dukungan langsung ke tim di stadion, atau dukungan tak langsung lewat kegiatan luar stadion, semisal dukungan anak usaha dan pemasukan lain bagi tim.
Tribun selatan juga memiliki BCS rules yang secara tidak langsung telah ditempa terhitung sejak awal BCS berdiri. Aturan tersebut tentu berkembang mengikuti kondisi yang wajib terpenuhi.
Tidak boleh memakai sandal dan harus memakai sepatu. Tidak boleh meniup terompet, megaphone capotifo. Tidak boleh duduk dan harus berdiri sepanjang pertandingan berlangsung. Tidak ada politik dan rasisme. Tidak boleh memakai helm di dalam tribun. Boleh membawa hand banner sebagai bentuk proter,kritik ataupun teror mental.
 Pelemparan kertas roll menghindari pemain PSS Sleman sendiri adalah satu perubahan yang juga ditempa oleh pengalaman dalam perjalanan komunitas suporter. Boleh menyalakan flare, bom asap dan kembang api jelang pertandingan usai di luar waktu pertandingan juga merupakan bagian dari perubahan.
Menyalurkan aspirasi baik proter ke federasi PSSI atau manajemen klub biasa dilakukan lewat hand banner atau spanduk-spanduk. Semangat "No Leader Just Together" membuat forum BCS menjadi sakral. Keputusan dan perubahan dalam BCS rules dicatat dan diamplifikasi lewat media komunitas.

Sumber: sleman-football.com

SEJARAH SINGKAT PERJALANAN TEAM HIJAU PSS MENUJU SEPAKBOLA NASIONAL

SEJARAH SINGKAT PERJALANAN TEAM HIJAU PSS MENUJU SEPAKBOLA NASIONAL

SUDAH lama dan berpanjang lebar orang membicarakan bagaimana sebuah permainan sepakbola bisa baik, berkualitas tinggi. Bahkan, dalam konteks nasional, Indonesia pernah kebingungan mencari jawaban itu. Berbagai pelatih atau instruktur didatangkan dari Brasil, Jerman, Belanda dan sebagainya. Namun, toh sepakbola Indonesia tak pernah memuaskan, bahkan tekesan mengalami kemunduran.

Dari pengalaman upaya Tim Nasional Indonesia untuk membangun sebuah permainan sepakbola yang baik itu, sebenarnya ada kesimpulan yang bisa diambil. Kesimpulan itu adalah, selama ini Indonesia hanya mencoba mengkarbit kemampuan sepakbolanya dengan mendatangkan pelatih berkelas dari luar negeri. Indonesia tidak pernah membangun kultur atau budaya sepakbola secara baik. Dengan kata lain, upaya PSSI selama ini lebih membuat produk instan daripada membangun kultur dimaksud.

Pelatih berkualitas, teori dan teknik sebenarnya bukan barang sulit untuk dimiliki. Elemen-elemen itu ada dalam textbook, atau bahkan sudah di luar kepala seiring dengan meluasnya popularitas sepakbola. Indonesia termasuk gudangnya komentator. Bahkan, seorang abang becak pun bisa berbicara tentang sepakbola secara teoritis dan analitis.

Sebab itu, seperti halnya sebuah kehidupan, sepakbola membutuhkan kultur. Artinya, sepakbola harus menjadi kebiasaan atau tradisi yang melibatkan daya upaya, hasrat jiwa, interaksi berbagai unsur dan berproses secara wajar dan jujur, bertahap dan hidup.

Untuk membangun kultur sepakbola itu, jawaban terbaik adalah membangun kompetisi yang baik pula. Lewat kompetisi, tradisi sepakbola lengkap dengan segala elemennya akan berproses dan berkembang ke arah yang lebih baik. Akan lebih baik lagi kompetisi itu terbangun sejak pelakunya masih kecil, tanpa rekayasa dan manipulasi. Pada gilirannya, tradisi itu akan melahirkan sebuah permainan indah dan berkualitas, serta memiliki bentuk dan ciri khasnya tersendiri. Itu sebabnya, kenapa sepakbola Brasil, Belanda, Inggris, Jerman dan Italia tidak hanya berkualitas, tapi juga punya gaya khasnya sendiri- sendiri.

Dalam konteks kecil dan lokal, Persatuan Sepakbola Sleman (PSS), sadar atau tidak, sebenarnya telah membangun sebuah kultur sepakbolanya melalui kompetisi lokal yang rutin, disiplin dan bergairah. Berdiri tahun 1976, PSS termasuk perserikatan yang muda jika dibandingkan dengan PSIM Yogyakarta, Persis Solo, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, PSMS Medan, Persija dan lainnya.

Namun, meski muda, PSS mampu membangun kompetisi sepakbola secara disiplin, rutin dan ketat sejak pertengahan tahun 1980-an. Kompetisi itu tak bernah terhenti sampai saat ini. Sebuah konsistensi yang luar biasa. Bahkan, kompetisi lokal PSS kini dinilai terbaik dan paling konsisten di Indonesia. Apalagi, kompetisi yang dijalankan melibatkan semua divisi, baik divisi utama, divisi I maupun divisi II. Bahkan, pernah PSS juga menggelar kompetisi divisi IIA.

Maka, tak pelak lagi, PSS kemudian memiliki sebuah kultur sepakbola yang baik. Minimal, di Sleman telah terbangun sebuah tradisi sepakbola yang meluas dan mengakar dari segala kelas. Pada gilirannya, tak menutup kemungkinan jika suatu saat PSS mampu menyuguhkan permainan fenomenal dan khas.

Ini prestasi luar biasa bagi sebuah kota kecil yang berada di bawah bayang-bayang Yogyakarta ini. Di Sleman tak ada sponsor besar, atau perusahaan-perusahaan raksasa yang bisa dimanfaatkan donasinya untuk mengembangkan sepakbola. Kompetisi itu lebih berawal dari kecintaan sepakbola, tekad, hasrat, motivasi dan kemauan yang tinggi. Semangat seluruh unsur #penonton, pemain, pelatih, pengurus dan pembina #terlihat begitu tinggi.

Meski belum optimal, PSS akhirnya menuai hasil dari tradisi sepakbola mereka. Setidaknya, PSS sudah melahirkan pemain nasional Seto Nurdiantoro. Sebuah prestasi langka bagi DIY. Terakhir, pemain nasional dari DIY adalah kiper Siswadi Gancis. Itupun ia menjadi cadangan Hermansyah. Yang lebih memuaskan, pada kompetisi tahun 1999/2000, PSS berhasil masuk jajaran elit Divisi Utama Liga Indonesia (LI).

Perjalanan PSS yang membanggakan itu bukan hal yang mudah. Meski lambat, perjalanan itu terlihat mantap dan meyakinkan. Sebelumnya, pada kompetisi tahun 1990-an, PSS masih berada di Divisi II. Tapi, secara perlahan PSS bergerak dengan mantap. Pada kompetisi tahun 1995/96, tim ini berhasil masuk Divisi I, setelah melewati perjuangan berat di kompetisi-kompetisi sebelumnya.

Dengan kata lain, PSS mengorbit di Divisi Utama LI bukan karena karbitan. Ia melewatinya dengan proses panjang. Kasus PSS menjadi contoh betapa sebuah kulturisasi sepakbola akan lebih menghasilkan prestasi yang mantap daripada produk instan yang mengandalkan ketebalan duit.

Dan memang benar, setelah bertanding di kompetisi Divisi Utama, PSS bukanlah pendatang baru yang mudah dijadikan bulan- bulanan oleh tim-tim elit. Padahal, di Divisi Utama, PSS tetap menyertakan pemain produk kompetisi lokalnya. Mereka adalah M Iksan, Slamet Riyadi, Anshori, Fajar Listiantoro dan M Muslih. Bahkan, M Ikhsan, Slamet Riyadi dan Anshori merupakan pemain berpengaruh dalam tim.

Pada penampilan perdananya, PSS langsung mengagetkan insan sepakbola Indonesia. Di luar dugaan, PSS menundukkan tim elit bergelimang uang, Pelita Solo 2-1.

Bahkan, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono sendiri yang saat itu berada di Brunei Darussalam dalam rangka promosi wisata juga kaget. Kepada Bupati Sleman Ibnu Subianto yang mengikutinya, Sri Sultan mengatakan, "Ing atase cah Sleman sing ireng-ireng biso ngalahke Pelita." Artinya, anak-anak Sleman yang hitam-hitam itu (analog orang desa) kok bisa mengalahkan tim elit Pelita Solo.

Saat itu, Ibnu Subianto menjawab, "Biar hitam nggak apa- apa tho pak, karena bupatinya juga hitam." Ini sebuah gambaran betapa prestasi PSS memang mengagetkan. Bahkan, gubernur sendiri kaget oleh prestasi anak-anaknya. Akan lebih mengagetkan lagi, jika Sri Sultan tahu proses pertandingan itu. Sebelum menang, PSS sempat ketinggalan 0-1 lebih dulu. Hasil ini menunjukkan betapa permainan PSS memiliki kemampuan dan semangat tinggi, sehingga tak minder oleh tim elit dan tak putus asa hanya karena ketinggalan. Berikutnya, tim cukup tua Gelora Dewata menjadi korbannya. Bahkan, di klasemen sementara, PSS sempat bertengger di urutan pertama.

Ketika tampil di kandang lawan, Malang United dan Barito Putra, PSS juga tak bermain cengeng. Bahkan, meski akhirnya kalah, PSS membuat tuan rumah selalu was-was. Sehingga, kekalahan itu tetap menjadi catatan mengesankan. Maka, tak heran debut PSS itu kemudian menjadi perhatian banyak orang. Hanya dalam sekejap, PSS sudah menjadi tim yang ditakuti, meski tanpa bintang.

Pembinaan sepakbola ala PSS ini akan lebih tahan banting. Sebab itu, terlalu berlebihan jika menilai PSS bakal numpang lewat di Divisi Utama.

Dengan memiliki tradisi sepakbola yang mantap dan mapan, tak menutup kemungkinan jika PSS akan memiliki kualitas sepakbola yang tinggi. Bahkan, bukan hal mustahil jika suatu saat PSS bisa juara LI.

Apa yang terjadi di Sleman sebenarnya mirip dengan yang terjadi di Bandung dengan Persib-nya dan di Surabaya dengan Persebaya-nya. Di kedua kota itu, kompetisi lokal juga berjalan dengan baik, bahkan sepakbola antarkampung (tarkam) pun kelewat banyak. Maka tak heran jika sepakbola di Bandung dan Surabaya sangat tangguh dan memiliki ciri khas tersendiri. Oleh karena itu, jika tradisi sepakbola di Sleman bisa dipertahankan bahkan dikembangkan, tak menutup kemungkinan PSS akan memiliki nama besar seperti halnya Persib atau Persebaya. Semoga!

Sumber : slemania.or.id

Sedikit tentang saya

Hari Nur Prasetyo. Ya, itulah sebuah nama yang diberikan oleh orangtua saya dan mengandung sebuah doa untuk saya. Sedikit mengenal tentang gue (gaul dikit gakpapa kan fren? haha). Gue dilahirkan disebuah Kabupaten yang letaknya berada diutara Kota Yogyakarta. Mana lagi kalau bukan Kabupaten Sleman. Kabupaten dimana gue lahir dan dibesarkan sampai saat ini hehe. Gue lahir pada saat Hari Kartini. Ya, tepat pada tanggal 21 April 1997 gue lahir didunia ini dari pasangan Mu Darwis dan Mugiati. Walaupun babe gue udah meninggal tepat pada 10 hari sebelum gue berusia 3 tahun sih. Dulu gue sempat mau dikasih nama Kartono (terlalu ndeso sih haha) tapi untungnya gak jadi. Wusss elok ra? Haha
Mengenai tentang hobi, gue suka berolahraga. Tentunya olahraga yang sangat digemari oleh manusia dipenjuru dunia. Yaa, sepakbola tentunya. Dan saking senangnya pada sepakbola, gue jadi penggemar berat tim lokal didaerah gue, yesss PSS Sleman. Meskipun orang lain jadi penggemar berat tim luar negeri seperti Barcelona ataupun Real Madrid, gue lebih bangga mendukung tim lokal asal daerah gue. Kalau kalian penggemar tim luar nengeri apakah kalian pernah datang ke stadion untuk mendukung? Mending banggain tim dari daerah asal (sok-sokan toh aku? hayo haha)
Okee, untuk pendidikan gue, gue mulai masuk TK pada tahun 2002 dan pada 2003 gue sekolah di SD Negeri Ngemplak 4. Lulus tahun 2009, gue kemudian melanjutkan di SMP Negeri 1 Ngemplak. Lokasinya gak jauh dari rumah gue sih jadi hanya jalan kaki kalau berangkat/pulang sekolah (prihatin dikit haha). Tahun 2012 gue lulus dan melanjutkan pendidikan ke SMK Negeri 3 Yogyakarta, Pelajar Kota Yogyakarta gitu loh haha (ben dikiro cah kota). Itulah sedikit profil tentang gue fren haha

Jumat, 06 Maret 2015

Hari Ini Skuat PSS Didaftarkan ke PT Liga Indonesia

Hari Ini Skuat PSS Didaftarkan ke PT Liga Indonesia

Sabtu, 7 Maret 2015 07:39 WIB

Hari Ini Skuat PSS Didaftarkan ke PT Liga Indonesia
net
Logo PSS Sleman 
Laporan Reporter Tribun Jogja, Dwi Nourma Handito
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Manajemen PSS Sleman menyatakan kebutuhan pemain untuk putaran pertama Divisi Utama (DU) 2015 sudah cukup. Sehingga sudah tidak ada penambahan pemain lagi, hal tersebut disampaikan oleh Direktur Teknik PSS Sleman, Arif Juli Wibowo di Stadion Maguwoharjo Sleman, Jumat (6/3/2015) sore.
"Pemain sudah cukup dan kita stop berburu pemain dulu, besok (hari ini,red) pemain akan kita daftarkan," ujar Arif Juli Wibowo.
Sementara Sabtu (7/3/2015) hari ini adalah batas akhir pendaftaran pemain ke PT Liga Indonesia selaku operator Divisi Utama (DU) 2015. Adapun untuk Danan Puspito dan Hary Prasetyo sudah deal dengan PSS Sleman pada malam tadi. Sebelumnya dua pemain tersebut belum deal karena masih ada tarik ulur negosiasi.
"Danan dan Hary deal, ujar Arif Ketika dikonfirmasi Tribun Jogja, Jumat (6/3/2015) malam.
Adapun untuk pemain magang tidak akan ikut didaftarkan. Pemain magang tersebut adalah Syahrul di posisi penjaga gawang dan Edo di posisi pemain belakang.(*)